Di perang Uhud, ketika
tubuhnya memerisai Rasulullah dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya,
Thalhah ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir. “Rabbii”, begitu
lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa. Ya Allah, ambil darahku
hari ini sekehendakMu hingga Engkau ridha.” Tombak, pedang, dan panah yang
menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela
seujung bulu pun terpapas.
“Kalau ingin melihat
syahid yang masih berjalan di muka bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah
pada Thalhah”. Dan Thalhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh,
yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah
di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.
Tetapi tiap pahlawan
punya kisahnya sendiri.
Satu hari ia berbincang
dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah
datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu
‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah.
Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan
‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang
lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
Satu saat dibisikannya
maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah
wafat.”
Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan
firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluhtiga surat Al Ahzab, “Dan
apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada
mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati
mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya
sesudah wafatnya selama-lamanya.”
Ketika ayat itu dibacakan
padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan
kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki
sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri
kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita
jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan
kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai
Thalhah.
Begitulah, tiap pahlawan
punya kisahnya sendiri.
Sesudah wafatnya ‘Utsman
ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah
bersama Zubair ibn Al ‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk
menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para
pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan
‘Ali ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya
terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di
tengah kedua kubu.
Satu hari, dalam perang
yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa
berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az Zubair. Mereka
berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh.
Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah berkelebatan
dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka
seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus
berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati
tersembilu.
Dan seolah tak ada jalan
selain itu.
Sesudah menyeka air mata,
‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela
nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah
turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita
untuk menikahi janda beliau?”
Thalhah terisak. Dadanya
bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu
Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat
tercabiknya batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan
kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan
hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
‘Ali meraba reaksi
Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan
kini sesudah beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa
engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai
unta dan berperang di sisimu?”
Thalhah menubruk ‘Ali,
memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi
perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Thalhah,
bersama Az Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki
perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam, sore itu,
menggali kubur untuk kedua cintanya.
Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih kecil.
Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan
ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Allah di Surat Al Hijr ayat
keempatpuluh tujuh; “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam
hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas
dipan-dipan.”
Salim A. Fillah